
INFOMASE, Jakarta: Juru bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) Mohammad Syahril melaporkan temuan tiga kasus subvarian Omicron BA.2.75 atau disebut Centaurus di Indonesia. Ketiga kasus tersebut ditemukan pada Minggu (17/7).
Dari ketiga kasus tersebut, satu kasus di Bali merupakan imported case dari seorang WNA. Sedangkan dua kasus di Jakarta, berdasarkan penyelidikan adalah transmisi lokal.
“Ada tiga subvarian subvarian BA.2.75. Yang di Bali iya (imported case). Yang di Jakarta lokal,” kata Syahril dikutip dari detikcom, Selasa (19/7).
Syahril juga membeberkan gejala yang dikeluhkan ketiga pasien masih ringan.Menurutnya, gejala yang muncul serupa dengan yang ditemukan pada pasien Omicron BA.4 dan BA.5.
“Sama saja, masih ringan seperti gejala Omicron BA. 4 dan BA. 5,” beber Syahril.
Adapun beberapa gejala yang banyak dikeluhkan pasien adalah batuk, demam, pilek, sakit tenggorokan, sakit kepala, sesak napas, pusing, mual/muntah, anosmia.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu mengungkapkan dua pasien BA.2.75 asal Jakarta mengalami gejala demam, batuk, dan sakit tenggorokan.
“Warga negara Australia tanpa gejala atau OTG. Ibu dan anak warga Jakarta mengalami gejala demam, sakit tenggorokan, dan batuk, serta tidak ada riwayat perjalanan luar negeri, mereka juga tidak dirawat di rumah sakit,”ujar Max dilansir dari CNN Indonesia.
Nama subvarian Omicron ‘Centaurus’ bukanlah nama resmi yang diberikan oleh WHO. Melainkan berasal dari pengguna Twitter @xbitron1, yang memberikan nama pada subvarian Omicron BA.2.75 menjadi ‘Centaurus’ pada 1 Juli 2022.
Apa Bedanya dengan Subvarian Lain?
Subvarian Omicron Centaurus atau BA.2.75 diyakini mudah menular dengan cepat. Bahkan, berpotensi menjadi subvarian dominan di seluruh dunia.
“Apa yang kami lihat dengan BA.2.75 baru ini adalah bahwa hal itu menyebar di negara-negara di mana terdapat tingkat vaksinasi yang tinggi, jadi tampaknya virus ini mampu mengatasi beberapa kekebalan yang sudah ada sebelumnya,” ujar seorang ahli virus di University of Edinburgh.
Meskipun demikian, Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Zubairi Djoerban menyebut sampai saat ini masih belum ada bukti kuat terkait tingkat keparahan dari subvarian Omicron baru ini.
“Belum ada bukti yang menunjukkan subvarian ini menyebabkan penyakit yang lebih serius ketimbang subvarian lainnya. Bahkan beberapa ahli menyebut BA.2.75 itu subvarian yang paling tidak mematikan,” tuturnya. (BH)