INFOMASE, Bogor: Pekerjaan menjadi sopir truk kini tak lagi identik dengan uang banyak yang mampu memikat banyak wanita. Berprofesi sebagai sopir truk saat ini justru dipenuhi dengan banyak risiko dan tantangan. Dalam dua bulan terakhir terjadi kasus kecelakaan yang disebabkan oleh truk.
Namun, jangan langsung menghakimi sang sopir lebih dulu. Uraian dari Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata yang juga Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno mungkin dapat membuat mata kita terbuka akan beratnya tugas dan beban menjadi seorang sopir truk.
Saat ini, kata Djoko, pengemudi truk menanggung beban sistem logistik yang salah. Tanggungjawab pemilik barang (pabrik) dibebankan pada pengemudi. Setiap terjadi kecelakaan lalu lintas, pengemudi dijadikan tersangka.
Belum lagi masih suburnya pungli di sepanjang perjalanan aliran logistik. Sopir truk menanggung pengeluaran untuk pembelian bahan bakar minyak (BBM), tarif tol, makan dan minum, MCK, pungutan liar, petugas resmi, tilang, tarif parkir, pecah ban dan berbagai retribusi lainnya.
Sementara pengusaha angkutan akan menanggung angsuran kredit kendaraan, penyusutan kendaraan, penggantian ban, oli dan suku cadang, stooring dan derek, perijinan dan surat menyurat. Belum lagi jika ketahuan overload, maka pengemudi membayar tilang sebesar Rp500 ribu.
“Jadi sebenarnya tidak ada pengemudi truk yang terpaksa muat lebih. Itu pilihan pengusaha dan pengemudi. Akibat tekanan ongkos murah dari pemilik barang. Jika ongkos bagus dan muatan ringan, pengemudi dan pengusaha angkutan sama-sama happy. Karena sebenarnya yang dikejar itu nilai ongkosnya. Itulah suka duka pengemudi truk di Indonesia,”papar Djoko kepada Infomase.id, Kamis (1/9).
Dikatakan dia, jika BBM irit, tidak harus lewat jalan tol (tarif tol mahal), tidak ada preman, tidak ada petugas menjahili, tarif parkir murah, tidak ada retribusi, maka berbahagialah sang pengemudi truk. Namun sebaliknya, jika penggunaan BBM boros, harus lewat jalan tol, banyak preman, banyak petugas jahil, tarif parkir mahal dan banyak retribusi, maka celakalah nasib pengemudi truk.
Istri Gantikan Kernet
Saat ini, diungkap Djoko, pengemudi truk sudah jarang yang membawa kernet. Dampaknya, regenerasi pengemudi truk terhambat alias tidak ada. Biasanya sopir belajar mengenudi ketika dia menjadi kernet, menggantikan sopir yang lelah.
Namun karena saat ini ongkos muat kembali ke angka di tahun 2000an, sudah terlalu minim, maka perolehan bagi hasil antara pengemudi dengan pengusaha truk pun anjlok.
Sopir truk yang dahulu identik dengan banyak istri atau pacar. Bahkan, ungkap Djoko, dulu jika terjadi persaingan antar pengemudi truk untuk mendapatkan wanita cantik di warung kopi, mereka berani berlomba memikat si wanita dengan berlomba-lomba memberikan hadiah.
“Misalnya membelikan sepeda motor atau perhiasan adalah hal yang jamak bagi para pengemudi truk. Saat ini, pengemudi truk jarang ada yang mau membawa kernet agar masih ada sisa uang yang bisa dibawa pulang untuk keluarganya,” papar Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat ini.
Ketimbang membawa kernet, kini sudah banyak pengemudi truk yang membawa istrinya untuk berperan sebagai tukang masak, tukang cuci, tukang pijit dan tukang menghitung barang yang dimuat dan dibongkar.
“Perilaku pengemudi truk yang dulu sering menghiasi warung remang-remang berubah menjadi sering membawa istrinya sekarang ini adalah bukan karena alasan pertobatan atau agamis. Namun lebih karena pengiritan, akibat tidak punya uang lagi,” kata Djoko.
Tak Ada Regenerasi Pengemudi
Ketiadaan kernet saat ini, selain mengakibatkan kaderisasi pengemudi truk jadi terhambat, banyaknya pengmudi truk yang tidak membawa pendamping atau kernet sama sekali juga menyebabkan tingginya angka kecelakaan tunggal.
“Sebab waktu dan tenaga yang mestinya sopir gunakan untuk istirahat terpaksa dia gunakan untuk melakukan pekerjaan kernet. Biasanya jika ada kernet, pengemudi bisa tidur saat bongkar dan muat barang,” tutur Djoko.
Namun, tidak adanya kernet, kata Djoko, mengharuskan pengemudi harus melakukan penghitungan barang yang dibongkar dan dimuat. Mekanisme bongkar muat barang harus diperbaiki.
Pengemudi truk juga harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menutup barang muatan. Selain itu, masih juga harus melakukan perawatan kendaraan, seperti melakukan pengecekan tekanan angin dan bahkan melakukan bongkar dan pasang ban sendiri. Mestinya, sistem bongkar muat barang di Indonesia sudah memikirkan tanpa kernet.
“Istirahat pengemudi pun jadi tidak relaks betul. Pasalnya, jika tidurnya terlalu lelap, ketika bangun bisa hilang semua barang bawaannya,” kata Djoko.
Sering juga, lanjut dia, ketika ada sopir yang tertidur terlalu lelap di rest area Jalan Tol, maka muatan truk akan digerayangi oleh pencuri yang berada di situ atau barang muatannya dilubangi dan diambil oleh begal truk.
“Sekarang malah yang lebih populer lagi adalah pencurian speedometer, accu, dinamo dan ban cadangan,” urai Djoko.
Sebelum tahun 2000 pengusaha truk pun berani mengambil kredit armada truk baru jika memiliki sudah memiliki 1 truk lunas. Istilahnya 1 menggendong 1, akan tetapi saat ini 3 armada truk lunas baru bisa menghidupi 1 armada truk kredit. Atau kredit truk dibayar dengan dana hasil kerja lainnya.
“Jika mendapat kontrak mengangkut barang senilai Rp5 juta, dibagi dua, Rp2,5 juta buat sopir dan Rp2,5 juta buat pemilik kendaraan. Namun prosentase tidak harus fifty-fifty. Barang yang berpotensi dicuri, sopir (55 persen) dan pemilik truk (45 persen). Jika barang yang diangkut tergolong aman, pembagiannya sopir (45 persen) dan pemilik truk (55 persen),”urai Djoko.
Sopir Truk di Eropa
Kondisi profesi sopir truk di Indonesia sangat kontras dengan keadaan sopir truk di Eropa. Diungkap Djoko, pengemudi truk di Eropa hanya mengecek oli saja. Lagipula jarang terjadi ban kempes atau pecah, karena muatan standard masih dalam batas load index ban.
“Pengemudi dapat tidur dengan nyaman di ruang dalam kabin truk. Jika kendaraan dicurigai mengangkut overload, pengemudi tidak diapa-apakan, tapi si pembawa manifest barang yang harus mempertanggungjawabkannya. Atau Polisi di perbatasan negara akan mengundang perwakilan dari pabrik untuk hadir ke penimbangan supaya bertanggung jawab,” pungkas Djoko. (Bhakti Hariani)