
INFOMASE, Depok: Menjelang akhir pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat, pro kontra regulasi tersebut langsung muncul ke permukaan secara bersamaan.
Segala perusahaan yang mengoperasikan secara digital di wilayah Indonesia, baik itu lokal maupun berasal dari luar negeri, diwajibkan untuk melakukan pendaftaran ke Pemerintah Indonesia yang dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Bahkan sampai pendaftaran PSE Lingkup Privat ditutup pada 20 Juli kemarin, Kominfo memberikan waktu kepada platform digital, khususnya yang termasuk 100 trafik tertinggi di Indonesia, untuk mendaftar. Bila tidak akan menerima konsekuensinya berupa pemblokiran.
Nama-nama perusahaan tenar seperti Opera, LinkedIn, PayPal, Amazon, Alibaba, Yahoo, Bing, Steam, Dota, Epic Games, Battlenet, Origin, dan Counter-Strike masih belum terdaftar sebagai PSE Lingkup Privat. Kominfo lalu memberi batas waktu sampai 27 Juli 2020 pukul 23.59.
Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, menilai aturan PSE ini memang diperlukan untuk lebih bisa menertibkan para PSE yang selama ini banyak mengeruk data dan uang dari masyarakat langsung tanpa ada regulasi yang cukup.
“Sebenarnya dengan Permenkominfo ini juga belum cukup, perlu ada UU PDP misalnya agar para PSE ini didorong lebih bertanggung jawab dalam memproses data,” ujar Pratama, Rabu (27/7/2022).
Sebagai informasi, Pendaftaran PSE Lingkup Privat ini telah diamanatkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik, serta Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat
Pratama mengatakan, aturan PSE ini diperlukan misalnya dalam menghadapi kontan di media sosial (medsos) yang berbahaya bagi ketertiban dan keamanan di tanah air.
“Namun memang perlu diskusi lebih jauh, karena ada pasal yang dianggap terlalu multitafsir, sehingga berpotensi menjadi pasal karet seperti di UU ITE,” kata pakar siber ini.
Pratama mengungkapkan upaya diskusi diperlukan agar muncul regulasi terbaik dari pemerintah yang tidak juga memberatkan masyarakat atau menempatkan masyarakat dalam posisi serba terancam.
Misalnya, soal takedown akun dan konten, bagaimana menentukan sebuah konten itu mengganggu ketertiban umum, padahal misalnya konten tersebut adalah fakta tentang pembelaan terhadap sekelompok masyarakat yang dirugikan.
“Yang seperti ini menjadi keberatan beberapa elemen masyarakat, karena itu butuh diskusi banyak pihak,” ucapnya.
Bilapun mentok, dari sisi infrastruktur hukum, ada jalan lewat juducial review di Mahkamah Agung. Jadi, kata Pratama, semua jalan untuk diskusi maupun jalan lewat judicial review selalu terbuka.
“Prinsipnya aturan PSE dibutuhkan agar negara dan masyarakat tidak selalu kalah didepan PSE raksasa multinasiona, seperti Google fan Facebook. Negara lain misalnya di Eropa melakukan pendekatan dengan UU PDP dan UU Anti Monopoli dalam menghadapi raksasa teknologi, sehingga mereka tidak seenaknya dalam mengekspolitasi data masyarakat,” pungkasnya. (TGH)
Sumber: detikcom